• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

Perubahan Otot Menjadi Daging

Tuesday, June 14, 2011
Rigor mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.

Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.
Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka makin cepat terbentuknya rigor mortis

Waktu pascamerta (jam)
 Gambar 2. Proses rigor mortis pada kelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat terkuras stamina)
  

Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.

Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah
rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
  1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
  2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
  3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.

0 komentar:

Post a Comment

 
vetshop online © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates | Brought to you by Cyber Template