• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

Hipokalsemia pada Sapi Perah

Wednesday, May 18, 2011
Hipokalsemia pada sapi perah mempunyai beberapa sinonim yaitu milk fever, paresis puerpuralis dan parturient paresis (Goff 2006). Milk fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi betina menjelang/saat/sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium (Ca) dalam darah (Horst et al. 1997). Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf. Jika kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan  mengalami kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi  melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka kejadian milk fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk fever.

Etiologi
Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga jika Ca dalam pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air susu mengandung 1.2 – 1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl (Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2 kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca dalam darah tidak dapat dipertahankan, maka sapi akan mengalami paresis puerpuralis atau milk fever.
Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid (parathormon) dan vitamin D3 (DeGaris & Lean 2008). Pemberian pakan tinggi Ca pada periode kering dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga menghambat penyerapan Ca dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya kadar Ca dalam darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi (pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca darah dengan cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini cenderung menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan Ca pada permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam darah di bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca menurut Champness & Hamilton (2007) disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
  • Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan, akibatnya akan menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh pada jumlah Ca dalam darah.
  • Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut dari tulang akibat dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar adrenal
  • Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi menjelang melahirkan.
  • Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur mukosa sel-sel usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam darah.
  • Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang melahirkan, akibatnya ketersediaan kalsium yang siap diserap juga menurun.
  • pH pakan dan  kadar lemak yang tinggi
  • Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca.
  • Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan. Perbandingan yang ideal  adalah Ca:P = 1:1.
Gejala Klinis
Gejala awal yang ditemui yaitu sapi masih berbaring, nafsu makan turun, kurang peka terhadap lingkungan, cermin hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki belakang lemah dan terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka sapi hanya mampu bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberi pertolongan (Champness & Hamilton 2007).

Pengobatan
Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah penyuntikan 1000 ml calcium borogluconas 40 % secara intravena pada vena jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 – 12 jam kemudian. Apabila belum menampakkan hasil, maka dapat diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu yang boleh diperah selama 2 – 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindari selama waktu tersebut untuk mencegah terjadinya paresis peurpuralis. Kadar kalsium dalam pakan harus dikurangi  pada akhir periode laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan 2 kg/hari atau selama periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau suplemen mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi melahirkan (Bewley & Phillips 2010).
 
Daftar Pustaka

Bewley & Phillips. 2010. Prevention of Milk Fever. University of Kentucky.
Braun U, Jehle W, Siegwart N, Bleul U, Hässig M. 2006. Treatment of Parturient Paresis with High-dose Calcium. Departement für Nutztiere, Universität Zürich 148(3):121-9.

Champness D & Hamilton. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows

Agriculture Note. Department of Primary Industries. State of Victoria.

DeGaris PJ & Lean IJ. 2008. Milk Fever in Dairy Cows: A Review of Pathophysiology and Control Principles. The Vet. J.176(1): 158-6.

Goff JP. 2006. Macromineral physiology and application to the feeding of the dairy cow for prevention of milk fever and other periparturient mineral disorders. Animal Feed Science and Technology 126 (2006) 237–257.

Horst RL, Goff JP, Reinhardt TH, Buxton DR. 1997. Strategies for Preventing Milk Fever in Dairy Cattle. J. Dairy Sci 80:1269–1280.

Thirunavukkarasu M., Kathiravan G, Kalaikannan A, Jebarani W. 2010. Quantifying Economic Losses due to Milk Fever in Dairy Farms. Agricultural Economics Research Review Vol. 23. pp 77-81

0 komentar:

Post a Comment

 
vetshop online © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates | Brought to you by Cyber Template